Rabu, 23 Maret 2011

Kafir Qurai'sy

Apr 7th, 2010 by admin
Kaum muslimin, semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam yang haq. Sesungguhnya salah satu penyebab utama kemunduran dan kelemahan umat Islam pada masa sekarang ini adalah karena mereka tidak memahami hakikat kejahiliyahan yang menimpa bangsa Arab di masa silam. Mereka menyangka bahwasanya kaum kafir Quraisy jahiliyah adalah orang-orang yang tidak beribadah kepada Allah sama sekali. Atau lebih parah lagi mereka mengira bahwasanya kaum kafir Quraisy adalah orang-orang yang tidak beriman tentang adanya Allah [?!] Duhai, tidakkah mereka memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an dan lembaran sejarah yang tercatat rapi dalam kitab-kitab hadits ?
Kaum Kafir Quraisy Betul-Betul Mengenal Allah
Janganlah terkejut akan hal ini, cobalah simak firman Allah ta’ala,
Dalil pertama, Allah ta’ala berfirman,
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10]: 31)
Dalil kedua, firman Allah ta’ala,
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. az-Zukhruf : 87)
Dalil ketiga, firman Allah ta’ala,
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. al-’Ankabut: 63)
Dalil keempat, firman Allah ta’ala,
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS. an-Naml: 62)
Perhatikanlah! Dalam ayat-ayat di atas terlihat bahwasanya orang-orang musyrik itu mengenal Allah, mereka mengakui sifat-sifat rububiyyah-Nya yaitu Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, serta penguasa alam semesta. Namun, pengakuan ini tidak mencukupi mereka untuk dikatakan muslim dan selamat. Kenapa? Karena mereka mengakui dan beriman pada sifat-sifat rububiyah Allah saja, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, Allah katakan terhadap mereka,
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf : 106)
Ibnu Abbas mengatakan, “Di antara keimanan orang-orang musyrik: Jika dikatakan kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah’. Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.”
‘Ikrimah mengatakan,”Jika kamu menanyakan kepada orang-orang musyrik: siapa yang menciptakan langit dan bumi? Mereka akan menjawab: Allah. Demikianlah keimanan mereka kepada Allah, namun mereka menyembah selain-Nya juga.” (Lihat Al-Mukhtashor Al-Mufid, 10-11)
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa kaum musyrikin pada masa itu mengakui Allah subhanahuwata’ala adalah pencipta, pemberi rezki serta pengatur urusan hamba-hamba-Nya. Mereka meyakini di tangan Allah lah terletak kekuasaan segala urusan, dan tidak ada seorangpun diantara kaum musyrikin itu yang mengingkari hal ini (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat) Dan janganlah anda terkejut apabila ternyata mereka pun termasuk ahli ibadah yang mempersembahkan berbagai bentuk ibadah kepada Allah ta’ala.
Kafir Quraisy Rajin Beribadah
Anda tidak perlu merasa heran, karena inilah realita. Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah menceritakan bahwasanya kaum musyrikin yang dihadapi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang rajin beribadah. Mereka juga menunaikan ibadah haji, bersedekah dan bahkan banyak berdzikir kepada Allah. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrik juga berhaji dan melakukan thowaf adalah dalil berikut.
Dan telah menceritakan kepadaku Abbas bin Abdul ‘Azhim Al Anbari telah menceritakan kepada kami An Nadlr bin Muhammad Al Yamami telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar telah menceritakan kepada kami Abu Zumail dari Ibnu Abbas ia berkata; Dulu orang-orang musyrik mengatakan; “LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA (Aku memenuhi panggilanMu wahai Dzat yang tiada sekutu bagiMu). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan.” Tapi mereka meneruskan ucapan mereka; ILLAA SYARIIKAN HUWA LAKA TAMLIKUHU WAMAA MALAKA (kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai).” Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf di Baitullah. (HR. Muslim no. 1185)
Mengomentari pernyataan Syaikh Muhammad At Tamimi di atas, Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy yang didakwahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kaum yang beribadah kepada Allah, akan tetapi ibadah tersebut tidak bermanfaat bagi mereka karena ibadah yang mereka lakukan itu tercampuri dengan syirik akbar. Sama saja apakah sesuatu yang diibadahi disamping Allah itu berupa patung, orang shalih, Nabi, atau bahkan malaikat. Dan sama saja apakah tujuan pelakunya adalah demi mengangkat sosok-sosok tersebut sebagai sekutu Allah atau bukan, karena hakikat perbuatan mereka adalah syirik. Demikian pula apabila niatnya hanya sekedar menjadikan sosok-sosok itu sebagai perantara ibadah dan penambah kedekatan diri kepada Allah. Maka hal itu pun dihukumi syirik (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Dua Pelajaran Berharga
Dari sepenggal kisah di atas maka ada dua buah pelajaran berharga yang bisa dipetik.
Pertama; pengakuan seseorang bahwa hanya Allah lah pencipta, pemberi rezki dan pengatur segala urusan tidaklah cukup untuk membuat dirinya termasuk dalam golongan pemeluk agama Islam. Sehingga sekedar mengakui bahwasanya Allah adalah satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur belum bisa menjamin terjaganya darah dan hartanya. Bahkan sekedar meyakini hal itu belum bisa menyelamatkan dirinya dari siksaan Allah.
Kedua; apabila peribadatan kepada Allah disusupi dengan kesyirikan maka hal itu akan menghancurkan ibadah tersebut. Oleh sebab itu ibadah tidak dianggap sah apabila tidak dilandasi dengan tauhid/ikhlas (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan)
Dengan demikian sungguh keliru anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwasanya tauhid itu cukup dengan mengakui Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta. Dan dengan modal anggapan yang terlanjur salah ini maka merekapun bersusah payah untuk mengajak manusia mengenali bukti-bukti alam tentang keberadaan dan keesaan wujud-Nya dan justru mengabaikan hakikat tauhid yang sebenarnya. Atau yang mengatakan bahwa selama orang itu masih mengucapkan syahadat maka tidak ada sesuatupun yang bisa membatalkan keislamannya. Atau yang membenarkan berbagai macam praktek kesyirikan dengan dalih hal itu dia lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Atau yang mengatakan bahwa para wali yang sudah meninggal itu sekedar perantara untuk bisa mendekatkan diri mereka yang penuh dosa kepada Allah yang Maha Suci. Lihatlah kebanyakan praktek kesyirikan yang merebak di tengah-tengah masyarakat Islam sekarang ini, maka niscaya alasan-alasan semacam ini -yang rapuh serapuh sarang laba-laba- yang mereka lontarkan demi melapangkan jalan mereka untuk melestarikan tradisi dan ritual-ritual syirik.
‘Kita ‘Kan Tidak Sebodoh Kafir Quraisy’
Barangkali masih ada orang yang bersikeras mengatakan,“Jangan samakan kami dengan kaum kafir Qurasiy. Sebab kami ini beragama Islam, kami cinta Islam, kami cinta Nabi, dan kami senantiasa meyakini Allah lah penguasa jagad raya ini, tidak sebagaimana mereka yang bodoh dan dungu itu!” Allahu akbar, hendaknya kita tidak terburu-buru menilai orang lain bodoh dan dungu sementara kita belum memahami keadaan mereka. Saudaraku, cermatilah firman Allah ta’ala,
“Katakanlah; ‘Milik siapakah bumi beserta seluruh isinya, jika kalian mengetahui ?’ Maka niscaya mereka akan menjawab, ‘Milik Allah’. Katakanlah,’Lalu tidakkah kalian mengambil pelajaran ?’ Dan tanyakanlah; ‘Siapakah Rabb penguasa langit yang tujuh dan pemilik Arsy yang agung ?’ Niscaya mereka menjawab,’Semuanya adalah milik Allah’ Katakanlah,’Tidakkah kalian mau bertakwa’ Dan tanyakanlah,’Siapakah Dzat yang di tangannya berada kekuasaan atas segala sesuatu, Dia lah yang Maha melindungi dan tidak ada yang sanggup melindungi diri dari azab-Nya, jika kalian mengetahui ?’ Maka pastilah mereka menjawab, ‘Semuanya adalah kuasa Allah’ Katakanlah,’Lantas dari jalan manakah kalian ditipu?.’” (QS. Al-Mu’minuun: 84-89)
Nah, ayat-ayat di atas demikian gamblang menceritakan kepada kita tentang realita yang terjadi pada kaum musyrikin Quraisy dahulu. Meyakini tauhid rububiyah tanpa disertai dengan tauhid uluhiyah tidak ada artinya. Maka sungguh mengherankan apabila ternyata masih ada orang-orang yang mengaku Islam, rajin shalat, rajin puasa, rajin naik haji akan tetapi mereka justru berdoa kepada Husain, Badawi, Abdul Qadir Al-Jailani. Maka sebenarnya apa yang mereka lakukan itu sama dengan perilaku kaum musyrikin Quraisy yang berdoa kepada Laata, ‘Uzza dan Manat. Mereka pun sama-sama meyakini bahwa sosok yang mereka minta adalah sekedar pemberi syafaat dan perantara menuju Allah. Dan mereka juga sama-sama meyakini bahwa sosok yang mereka jadikan perantara itu bukanlah pencipta, penguasa jagad raya dan pemeliharanya. Sungguh persis kesyirikan hari ini dengan masa silam. Sebagian orang mungkin berkomentar, “Akan tetapi mereka ini ‘kan kaum muslimin” Syaikh Shalih Al-Fauzan menjawab,“Maka kalau dengan perilaku seperti itu mereka masih layak disebut muslim, lantas mengapa orang-orang kafir Quraisy tidak kita sebut sebagai muslim juga ?! Orang yang berpendapat semacam itu tidak memiliki pemahaman ilmu tauhid dan tidak punya ilmu sedikitpun, karena sesungguhnya dia sendiri tidak mengerti hakikat tauhid” (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Hubungan Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Sikap Guru Terhadap Pekerjaan dengan Kompetensi Profesional Guru (141)

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang hubungan antara (1) kepemimpinan kepala sekolah dengan kompetensi profesional guru, (2) sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru, dan (3) kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru.
Hipotesis yang diuji adalah: (1) terdapat hubungan positif antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kompetensi profesional guru, (2) terdapat hubungan positif antara sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru, dan (3) terdapat hubungan positif antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Populasi target dalam penelitian adalah seluruh guru SMP Negeri se-Kabupaten Pandeglang, sedangkan populasi terjangkau adalah para guru matematika yang berjumlah 165 orang. Jumlah sampel penelitian sebanyak 45 orang dengan menggunakan teknik Stratified Random Sampling.
Teknik pengambilan data untuk variabel kepemimpinan kepala sekolah (X1) dan sikap guru terhadap pekerjaan (X2) menggunakan kuesioner model skala Likert. Sedangkan untuk variabel kompetensi profesional guru (Y) menggunakan tes. Analisis reliabilitas untuk variabel X1 dan X2 dihitung dengan rumus Alpha Cronbach, dimana nilai reliabilitas untuk variabel X1 sebesar rii = 0,9064 dan untuk variabel X2 sebesar rii = 0,9032.
Data dianalisis dengan statistik deskriptif. Pengujian persyaratan statistik meliputi pengujian normalitas menggunakan uji Lilliefors dan pengujian homogenitas menggunakan uji Bartleth. Hasil pengujian persyaratan statistik menunjukkan bahwa data dari ketiga variabel berdistribusi normal dan bersifat homogen. Pengujian hipotesis meliputi pengujian hipotesis pertama dan kedua menggunakan analisis korelasi dan regresi linear sederhana, sedangkan pada hipotesis ketiga menggunakan analisis korelasi dan regresi linear ganda. Uji keberartian menggunakan uji t dan uji F pada taraf signifikansi a = 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kompetensi profesional guru, dengan persamaan regresi linear • = -17,42 + 0,33 X1 dan koefisien korelasi ry1 = 0,51 pada taraf a = 0,05. Kedua, terdapat hubungan positif yang signifikan antara sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru, dengan persamaan regresi linear • = -24,27 + 0,46 X2 dan koefisien korelasi ry2 = 0,62 pada taraf a = 0,05. Ketiga, terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru, dengan persamaan regresi • = -34,20 + 0,15 X1 + 0,36 X2 dan koefisien korelasi Ry.12 = 0,65 pada taraf a = 0,05.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam upaya perbaikan kompetensi profesional guru, mengingat hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaaan secara signifikan mampu meningkatkan kompetensi profesional guru.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.
Guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan.1 Dalam proses pendidikan di sekolah, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing danmembina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri. Djamarah berpendapat bahwa baik mengajar maupun mendidik merupakan tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional2. Oleh sebab itu, tugas yang berat dari seorang guru ini pada dasarnya hanya dapat dilaksanakan oleh guru yang memiliki kompetensi profesional yang tinggi.
Guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, untuk itu mutu pendidikan di suatu sekolah sangat ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Menurut Aqib guru adalah faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di sekolah, karena guru merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar 3. Lebih lanjut dinyatakan bahwa guru merupakan komponen yang berpengaruh dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah 4. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan atau kompetensi profesional dari seorang guru sangat menentukan mutu pendidikan.
Kompetensi profesional guru dalam hal ini guru matematika SMP Negeri di wilayah Kabupaten Pandeglang masih relatif rendah. Berdasarkan hasil Tes Kompetensi Guru yang dilakukan Depertemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutran Pertama yang bekerja sama dengan Pusat Penilaian Pendidikan pada Tahun 2003, menunjukkan bahwa rata-rata nilai kompetensi guru matematika di KabupatenPandeglang hanya mencapai 42,25 %. Angka ini masih relatif jauh di bawah standar nilai kompetensi minimal yang diharapkan yaitu 75 %.
Pada dasarnya tingkat kompetensi profesional guru dipengaruhi oleh faktor dari dalam guru itu sendiri yaitu bagaimana guru bersikap terhadap pekerjaan yang diemban. Sedangkan faktor luar yang diprediksi berpengaruh terhadap kompetensi profesional seorang guru yaitu kepemimpinan kepala sekolah, karena kepala sekolah merupakan pemimpin guru di sekolah.
Sikap guru terhadap pekerjaan merupakan keyakinan seorang guru mengenai pekerjaan yang diembannya, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada guru tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu sesuai pilihannya. Sikap guru terhadap pekerjaan mempengaruhi tindakan guru tersebut dalam menjalankan aktivitas kerjanya. Bilamana seorang guru memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya, maka sudah barang tentu guru akan menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai tenaga pengajar dan pendidik di sekolah dengan penuh rasa tanggung jawab. Demikian pula sebaliknya seorang guru yang memiliki sikap negatif terhadap pekerjaannya, pastilah dia hanya menjalankan fungsi dan kedudukannya sebatas rutinitas belaka. Untuk itu amatlah perlu kiranya ditanamkan sikap positif guru terhadap pekerjaan, mengingat peran guru dalam lingkungan pendidikan dalam hal ini sekolah amatlah sentral.
Sikap guru terhadap pekerjaan dapat dilihat dalam bentuk persepsi dan kepuasaannya terhadap pekerjaan maupun dalam bentuk motivasi kerja yang ditampilkan. Guru yang memiliki sikap positif terhadap pekerjaan, sudah barang tentuakan menampilkan persepsi dan kepuasan yang baik terhadap pekerjaanya maupun motivasi kerja yang tinggi, yang pada akhirnya akan mencerminkan seorang guru yang mampu bekerja secara profesional dan memiliki kompetensi profesional yang tinggi.
Sikap positif maupun negatif seorang guru terhadap pekerjaan tergantung dari guru bersangkutan maupun kondisi lingkungan. Menurut Walgito, sikap yang ada pada diri seseorang dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis, serta faktor eksternal, yaitu berupa situasi yang dihadapi individu, normanorma, dan berbagai hambatan maupun dorongan yang ada dalam masyarakat5.
Sekolah sebagai organisasi, di dalamnya terhimpun unsur-unsur yang masingmasing baik secara perseorangan maupun kelompok melakukan hubungan keja sama untuk mencapai tujuan. Unsur-unsur yang dimaksud, tidak lain adalah sumber daya manusia yang terdiri dari kepala sekolah, guru-guru, staf, peserta didik atau siswa, dan orang tua siswa. Tanpa mengenyampingkan peran dari unsur-unsur lain dari organisasi sekolah, kepala sekolah dan guru merupakan personil intern yang sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah.
Keberhasilan suatu sekolah pada hakikatnya terletak pada efisiensi dan efektivitas penampilan seorang kepala sekolah6. Sedangkan Sekolah sebagai lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan dan proses belajar mengajar dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tugas untuk memimpin sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Kepala sekolah diharapkan menjadi pemimpin dan inovator di sekolah. Oleh sebab itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan sekolah.
Wahjosumidjo mengemukakan bahwa:
Penampilan kepemimpinan kepala sekolah adalah prestasi atau sumbangan yang diberikan oleh kepemimpinan seorang kepala sekolah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang terukur dalam rangka membantu tercapainya tujuan sekolah. Penampilan kepemimpinan kepala sekolah ditentukan oleh faktor kewibawaan, sifat dan keterampilan, perilaku maupun fleksibilitas pemimpin. Menurut Wahjosumidjo, agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah yang memiliki kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan dan pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi dan pengawasan.7.
Kemampuan profesional kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yaitu bertanggung jawab dalam menciptakan suatu situasi belajar mengajar yang kondusif, sehingga guru-guru dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik dan peserta didik dapat belajar dengan tenang. Disamping itu kepala sekolah dituntut untuk dapat bekerja sama dengan bawahannya, dalam hal ini guru.
Kepemimpinan kepala sekolah yang terlalu berorientasi pada tugas pengadaan sarana dan prasarana dan kurang memperhatikan guru dalam melakukan tindakan, dapat menyebabkan guru sering melalaikan tugas sebagai pengajar dan pembentuk nilai moral. Hal ini dapat menumbuhkan sikap yang negatif dari seorang guruterhadap pekerjaannya di sekolah, sehingga pada akhirnya berimlikasi terhadap keberhasilan prestasi siswa di sekolah.
Kepala sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah secara keseluruhan, dan kepala sekolah adalah pemimpin formal pendidikan di sekolahnya. Dalam suatu lingkungan pendidikan di sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab penuh untuk mengelola dan memberdayakan guru-guru agar terus meningkatkan kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan guru-guru yang juga merupakan mitra kerja kepala sekolah dalam berbagai bidang kegiatan pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya dan meningkatkan kompetensi profesionalnya
Berdasarkan uraian diatas menunjukkkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan merupakan faktor yang cukup menentukan tingkat kompetensi profesional guru. Sehinga dapat diduga bahwa masih rendahnya kompetensi profesional guru dalam hal ini guru matematika SMP Negeri di Kabupaten Pandeglang, disebabkan oleh kompetensi profesional guru itu sendiri yang rendah, kepemimpinan kepala sekolah yang kurang efektif dan sikap guru yang negatif terhadap pekerjaannya. Atas dasar pemikiran tersebut, peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Hubungan Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Sikap Guru terhadap Pekerjaan dengan Kompetensi Profesional Guru Matematika SMP Negeri di Kabupaten Pandeglang”

REFERENSI

YAA RABB

Ya Rabb...
Engkau anugerahi hambamu ini dengan cinta
Namun aku, tak pernah sadar akan kesucian cinta yang telah aku nodai
Aku telah tersesat, selama ini aku telah terlena
Hingga aku,
Kadang dibuat tak sadar jika apa yang kulakukan melanggar aturan – aturanmu
Dan meskipun aku sadar, aku tak pernah menghiraukan akan larangan – larangan yang telah engkau tetapkan atas hamba – hambamu

Ya Rabb...
Aku telah menyalah gunakan anugerahmu
Walau aku bahagia, riang, penuh dengan kebahagiaan, namun aku telah berada dalam jurang neraka-Mu
Ku telah terbuai, terlena oleh syetan – syetan yang ada dalam jiwaku dan kekasihku
Berpegang tangan, bermesraan, seakan itu semua adalah bentuk kasih sayang dari kekasihku
Tapi aku tak  pernah sadar, jika syetan – syetan telah tertawa terbahak – bahak melihat semua kelakuanku jua kekasihku padaku

Ya Rabb...
Betapa ruginya aku
Betapa bodohnya aku
Yang selalu dibutakan oleh syetan – syetan yang besembunyi dibalik cintaku

Ya Rabb...
Ampunilah hamba-Mu

Pengertian pendidikan

Apa itu pendidikan?
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberikan awalan “pe” dan akhiran “kan” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya”. Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie”, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan dan bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan.[1]
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2]
Driyarkara mengatakan bahwa: Pendidikan ialah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah yang disebut mendidik. Pendidikan ialah pemanusiaan manusia muda (Ditjen Dikti, 1983/1984: 19).
Ki Hadjar Dewantara dalam Kongres Taman Siswa yang pertama pada tahun 1930 menyebutkan: Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak; dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian – bagian itu agar kita dapat mema-jukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak – anak yang kita didik selaras dengan dunianya.
Di dalam GBHN  tahun 1973 disebutkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekola dan berlangsung seumur hidup.[3]

Apa saja faktor – faktor pendidikan?
1.    Faktor tujuan
2.    Faktor pendidik
3.    Faktor isi/materi pendidikan
4.    Faktor metode pendidikan
5.    Faktor situasi lingkungan




Apa fungsi dari pendidikan?
Fungsi pendidikan dalam arti mikro (sempit) ialah membantu (secara sadar) perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Fungsi pendidikan secara makro (luas) ialah sebagai alat:
a.    Pengembangan pribadi
b.    Pengembangan warga negara
c.     Pengembangan kebudayaan
d.    Pengembangan bangsa[4]

Apa saja komponen – komponen pendidikan?
P.H. Combs (1982) mengemukakan dua belas komponen pendidikan sebagai berikut.
·      Tujuan dan Prioritas. Fungsinya mengarahkan kegiatan sistem.
·      Peserta didik. Fungsinya ialah belajar
·      Manajemen atau Pengelolaan. Fungsinya mengkoordinasikan, mengarahkan, dan menilai sistem pendidikan.
·      Struktur dan jadwal waktu. Fungsinya mengatur pembagian waktu dan kegiatan.
·      isi dan Bahan Pengajaran. Fungsinya untuk menggambarkan luas dan dalamnya bahan pelajaran yang harus dikuasai peserta didik.
·      Guru dan Pelaksana. Fungsinya menyediakan bahan pelajaran dan menyelenggarakan proses belajar untuk peserta didik.
·      Alat bantu belajar. Fungsinya untuk memungkinkan terjadinya proses pendidikan yang lebih menarik dan lebih bervariasi.
·      Fasilitas. Fungsinya untuk tempat terselenggaranya proses pendidikan.
·      Teknologi. Fungsinya memperlancar dan meingkatkan hasil guna proses pendidikan.
·      pengawasan mutu. Fungsinya membina peraturan – peraturan dan standar pendidikan.
·      Penelitian. Fungsinya untuk memperbaiki dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan penampilan sistem pendidikan.
·      Biaya. Fungsinya melancarkan proses pendidikan dan menjadi petunjuk tentang efesiensi sistem pendidikan. (Fu’ad Ihsan, Dasar – Dasar Kependidikan Komponen MKDk, Rineka Cipta,(Jakarta: 2008) Cet. Ke V, hal 5

Apa itu sistem?
Sistem dari bahasa Yunani (Sistema) yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan.[5]


[1] Eneng Mushlihah, Ilmu Pendidikan Islam,Diadit Media, (Jakarta: 2010) Cet I, hal.1
[2] Himpunan perundang – undangan Republik Indonesia Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Undang – undang  Republik Indonesia Nomor 2003 Beserta Penjelasannya, Nuansa Aulia, (Bandung: 2008) Cet.I hal. 10
[3] Fu’ad Ihsan, Dasar – Dasar Kependidikan Komponen MKDk, Rineka Cipta,(Jakarta: 2008) Cet. Ke V, hal 5
[4] Lihat Fu’ad Ihsan, Dasar – Dasar Kependidikan Komponen MKDK
[5] Eneng Mushlihah, Ilmu Pendidikan Islam,Diadit Media, (Jakarta: 2010) Cet I, hal.123

Pengertian belajar

Apa itu belajar?
Menurut Wolfolk dsan Nicolich, (1984: 161) belajar merupakan perubahan internal seseorang dalam pembentukan sesuatu yang baru atau potensi untuk merespon sesuatu yang baru. Dan Salvin (191 : 98) mengartikan belajar sebagai suatu perubahan yang terjadi pada seseorang yang disebabkan oleh pengalaman.[1]
Walker mengemukakan arti belajar dengan kata – kata yang singkat, yakni “Perubahan perbuatan sebagai akibat dari pengalaman”.
C.T. Morgan, dalam introduction to Psychology (1961), merumuskan belajar sebagai “Suatu perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang lalu.[2]
Secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.[3]

Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi belajar seseorang ?
Secara global, faktor – faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat kita bedakan menjadi tiga macam, yakni :
1)      Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa
2)      Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan disekitar siswa
3)      Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untukk melakukan kegiatan pembelajaran materi – materi pelajaran.
Faktor internal meliputi aspeks fisiologis seperti kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinyapun kurang atau tidak berbekas. Kondisi organ – organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan indera penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas. Sedangkan aspek psikologis antara lain seperti intelegensi siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa dan motivasi siswa.
Faktor eksternal siswa meliputi Lingkungan sosial dan lingkungan non sosial. Lingkungan sosial seperti para guru, para staf administrasi, dan teman – teman sekelas, masyarakat dan tetangga juga teman – teman sepermainan di sekitar kampung. lingkungan nonsosial meliputi gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat – alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa.

Apa saja pendekatan – pendekatan Belajar?
1.    Pendekatan Hukum Jost. Yakni siswa yang lebih sering mempraktikkan materi pelajaran akan lebih mudah memanggil kembali memori lama yang berhubungan dengan materi yang sedang ia tekuni. Maksudnya, mempelajari sebuah materi khususnya yang panjang dan kompleks dengan alokasi waktu 2 jam per hari selama 4 hari akan lebih efektif daripada mempelajari materi tersebut dengan alokasi waktu 4 jam sehari tetapi hanya selama 2 hari.
2.    Pendekatan Ballard & Clanchy. Yakni pendekatan belajar siswa pada umumnya dipengaruhi oleh sikap terhadap ilmu pengetahuan (attitude to knowledge). Ada dua macam siswa dalam menyikapi ilmu pengetahuan, yaitu: 1) sikap melestarikan apa yang sudah ada (conserving) dan 2) sikap memperluas (extending)
3.    Pendekatan Biggs. Yakni pendekatan belajar siswa dapat dikelompokkan tiga protopie yaitu :
-       Pendekatan surface (permukaan/bersifat lahiriah). Siswa yang menggunakan pendekatan ini mau belajarnya hanya karena dorongan dari luar (ekstrinsik) antara lain takut tidak lulus  yang mengakibatkan dia malu. Oleh karena itu, gaya belajarnya santai, asal hafal, dan tidak mementingkan pemahaman yang mendalam.
-       Pendekatan deep (mendalam). Siswa yang menggunakan pendekatan belajar ini biasanya mempelajari materi karena memang dia tertarik dan merasa membutuhkannya (intrinsik). Gaya belajarnya serius dan berusaha memahami materi secara mendalam serta memikirkan cara mengaplikasikannya. Intinya pendekatan belajar ini siswa tidak hanya sekedar ingin lulus tetapi juga siswa tersebut benar – benar menginginkan pengetahuan itu agar kelak bermanfaat bagi kehidupannya.
-       Pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi). Siswa yang menggunakan pendekatan achieving ini pada umumnya dilandasi oleh motif ekstrinsik yang berciri khsusus yang disebut ego-enhancement yaitu ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi keakuan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi setinggi – tingginya. Gaya belajar siswa ini lebih serius daripada siswa – siswa yang memaki pendekatan – pendekatan lainnya. Dia memiliki keterampilan belajar (study skills) dalam arti sangat cerdik dan efisien dalam mengatur waktu, ruang kerja, dan penelaahan isi silabus. Baginya, berkompetisi dengan teman – teman dalam meraih nilai tinggi adalah penting, sehingga ia sangat disiplin, rapi dan sistematis serta berencana untuk terus maju ke depan (plans ahead).
-       Pendekatan Independent Learning dan Self-directed Learning
Pendekatan independent learning ialah belajar mandiri dalam arti memeplajari topik/materi tertentu yang tidak diajarkan oleh guru, tetapi harus dikuasai oleh siswa dan penguasaan siswa atas topik tersebut dinilai oleh guru. (Petty, 2004: 342). Pendekatan IL dapat diarahkan (directed) dan dapat pula tidak diarahkan (non directed) oleh guru. Dalam pendekatan IL yang diarahkan, siswa memeplajari topik sesuai dengan petunjuk guru dalam hal caranya, rujukan yang digunakannya, dan hasil yang haarus dicapainya. Sementara itu, dalam IL yang tidak diarahkan siswa hanya diberi topik dan sedikit gambaran mengenai rincian, rujukan, dan hasil yang harus dicapai. Selebihnya, siswa bebas menentukan sendiri cara mempelajari materi dan memperoleh rujukan yang dipandang relevan dengan topik yang menjadi tugasnya itu.
Pendekatan self-directed learning (belajar dengan mengarahkan diri sendiri) merupakan pendekatan humanistik dalam arti memberi kemerdekaan manusiawi sepenuhnya kepada pembelajar sehingga guru benar – benar hanya berperan sebagai fasilitator.

Apa saja metode – metode belajar?
Ragam metode belajar antara lain Metode SQ3R, PQ4R.
Metode SQ3R dikembangkan oleh Francis P. Robinson di Universitas Negeri Ohio Amerika Serikat.
Metode SQ3R pada prinsipnya merupakan singkatan langkah – langkah mempelajari teks yang meliputi :
1.       Survey, maksudnya memeriksa atau meneliti atau mengidentifikasi seluruh teks.
2.       Question, maksudnya menyusun daftar pertanyaan yang relevan dengan teks.
3.       Read, maksudnya membaca teks secara aktif untuk mencari jawaban atas pertanyaan – pertanyaan yang telah tersusun.
4.       Recite, maksudnya menghafal setiap jawaban yang telah ditemukan
5.       Review, maksudnya meninjau ulang seluruh jawaban atas pertanyaan yang tersusun padda langkah kedua dan ketiga.
Metode PQ4R adalah ciptaan Thomas & Robinson (1972) yang disebut PQ4R disingkat dari Preview, Quetions, Read, Reflect, Recite, Review.[4]

Apa saja ragam – ragam belajar?
1.       Ragam abstrak. Yaitu belajar dengan menggunakan cara – cara berfikir abstrak.
2.       Ragam keterampilan. Yaitu belajar dengan menggunakan gerakan – gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat – urat syaraf dan otot – otot/neuromuscular.
3.       Ragam sosial. Yaitu belajar memahami masalah – masalah dan teknik – teknik untuk memecahkan masalah tersebut.
4.       Ragam pemecahan masalah. Yaitu belajar menggunakan metode – metode ilmiah atau berfikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti.
5.       Ragam rasional. Yaitu belajar dengan menggunakan kemampuan berfikir secara logis dan sistematis (sesuai dengan akal sehat).
6.       Ragam kebiasaan. Proses pembentukan kebiasaan – kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan – kebiasaan yang telah ada.
7.       Ragam apresiasi. Yaitu belajar mempertimbangkan (judgement) arti penting atau nilai suatu objek.
8.       Ragam pengetahuan. Yaitu belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu.



[1] Hidayatullah,  Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Thariqi Press, (Jakarta: 2008) hal.3
[2] Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, CV Pustaka Setia, (Bandung: 2003) hal. 219
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, PT Raja Grafindo Persada, (Jakarta: 2009) hal.68
[4] Lihat, Muhibbin Syah, Psikologi Belajar.

Jumat, 18 Maret 2011

peranan guru terhadap peningkatan mutu pendidikan

Peranan Guru Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan


Written by Syarif Hidayat   
Wednesday, 03 February 2010 13:42
Oleh:
M. Miftah. M.Pd.
Sebagian besar orang tua zaman dulu menjadikan profesi guru sebagi idaman bagi anak-anaknya, karena posisi itu memiliki nilai lebih di mata masyarakat. Ini tercermin misalnya, pada kebanyakan orang Jawa, sebutan mas atau pak guru masa itu merupakan sebutan yang sangat istimewa sekaligus sebutan yang mengandung makna penghormatan. Bahkan, sejak jaman penjajahan atu awal kemerdekan, profesi guru disanjung-sanjung. Guru memiliki strata social yang begitu menjulan gsehingga mencucuk atap langit. Apalagi di desa-desa, sosok guru bias dikatakan setara dengan kaum priayi, penuh wibawa dan cukup disegani. Tidak mengherankan kalau waktu itu setiap orng tua menginginkan anak-anaknyamenjadi guru. Namun hal itu berbeda sekali dibandingakn dengan posisi guru zaman sekarang.
Belakangan ini, profesi guru dipandang sebagai pelabuhan terakhir dari para lulusan sekolah guru yang serba pas-pasan. Bahkan banyak orang tua yang ogah mendorong anaknya untuk menjadi guru. Selain gajinya yang minim, wajh profesi ini sering kali tercoreng oleh sebagian oknum guru. Sebagi contoh, ada guru yang memperkosa siswanya sendiri, menganiaya anak didik, pilih kasih, tidak adil, dan masih banyak kasus yang ‘memilukan’ lainnya. Belum lagi profesionalisme guru di Indonesia umumnya tidak tampak. Seperti disinggung mantan Mendiknas Wardiman Djoyonegoro ketika diwawancarai sebah stasiuntelevisi, beberapa waktu lalu, bahwa sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak professional.Keruan saja kualitas pendidikan kita jauh dari harapan dan kebutuhan. Persoalannya, banyk guru sekarang yasng malas untuk mempelajasi semua hal yang berkaitan dengan bidangnya masing-masing, dan ini berdampak pada kemandekan kreativitas dan mutu dalam pembelajaran. Buntutnya, pendidikan kita kurang berpengaruh langsung pada kehidupan pribadi dan watak pesrta didik. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita saksikan (baik melalui media cetak maupun elektronik) berbagai kejahatan yang dilakukan anak-anak yang masih berusia belasan than. Diantara mereka telah menjadi generasi muda yang kerdil, mengambang, banyak omong tapi otaknya ompong, tahunya Cuma obat-obatan telarang, yang kreativitsnya hanya melulu di dunia hiburan. Memang, kondisi lingkungan sekitar selama ini kurang kondusif bagi dunia pendidikan. Lihat saja, krisis keteladanan, moral, dan spiritual kian merebak dimana-mana. Tontonan acara-acara televise yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan usia anak-anak semakin memperburuk wajah pendidikan kita.. Menhadapi keadaan demikian, upaya peningkatan profesionalisme guru dalam dunia pendidikan merupakan langkah awal yang tidak bias ditawar. Hal itu mengingat peran guru daharapkan bias menciptakan pendidikan yang membebaskan masyarakat dari keterpurukan, kemiskinan, dan berbagi krisis yang tengah melanda seluruh elemen bangsa ini.
  • Peran dan Fungsi Guru

Guru ataupun dikenali juga sebagai “pengajar”, “pendidik”, dan “pengasuh” merupakan tenaga pengajar dalam institusi pendidikan seperti sekolah maupun tiusyen (kelas bimbinangan) yang tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Guru sebagai pengajar Ialah orang yang memiliki kemampuan pedagogi sehingga mampu mengutarakan apa yang ia ketahui kepada peserta didik sehingga menjadikan kefahaman bagi peserta didik tentang materi yang ia ajarkan kepada peserta didik. Seorang pengajar akan lebih mudah mentransfer materi yang ia ajarkan kepada peserta didik, jika guru tersebut benar menguasai materi dan memiliki ilmu atau teknik mengajar yang baik dan sesuai dengan karakteristik pengajar yang professional. Sebagai contoh pengajar yang kompeten sehingga berhasil mencetak siswa-siswa yang pandai dan menguasai materi adalah Yohanes Surya. Proses pembelajaran (learning proses) yang dilakukannya dalam membimbing tim olimpiade fisika menuju keberhasilan di tingkat internasional bias dijadikan sebagai salah satu model pembelajaran bagi guru-guru lainnya. Tidak tanggung-tanggung, mesti para siswa itu hanya berpendidikan SMA dan satu diantaranya berpendidikan SMP, ilmu yang dipelajari selama masa bimbingan dalam beberapa aspek setara dengan pengetahuan pascasarjana. Sehingga dengan kefahaman dan kesiapan yang matang, para siswa tidak canggung dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan dalam kompetisi olimpade.
  • Guru Sebagai Pendidik

Pendidik adalah seiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi (Sutari Imam Barnado, 1989:44). Sehinggga sebagai pendidik, seorang guru harus memiliki kesadaran atau merasa mempunyai tugas dan kewajiban untuk mendidik. Tugas mendidik adalah tugas yang amat mulia atas dasar “panggilan” yang teramat suci. Sebagai komponen sentral dalam system pendidikan, pendidik mempunyai peran utama dalam membangun fondamen-fondamen hari depan corak kemanusiaan. Corak kemanusiaan yang dibangun dalam rangka pembangunan nasional kita adalah “manusia Indonesia seutuhnya”, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya diri disiplin, bermoral dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan hal itu, keteladanan dari seorang guru sebagai pendidik sangat dibutuhkan. Dapat dikatakan bahwa guru dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi ganda, sebagai pengajar dan pendidik. Maka guru secara otomatis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai kemajuan pendidikan. Begitu besarnya peranan guru sebagi pengajar dan pendidik, maka harus diakui bahwa kemajuan pendidikan di bidang pendidikan sebagian besar tergantung pada kewenangan dan kemampuan staff pengajar (guru). Pendidikan Indonesia akan maju jika staff pengajar (guru) sebagai kemampuan sentral dalam system pendidikan memiliki kualitas yang baik pula. Pendidikan Indonesia memerlukan guru yang memiliki kompetensi mengajar dan mendidik yang inovatif, kreatif, manusiawi, cukup waktu untuk menekuni tugas profesionalnya, dapat menjaga wibawanya di mata peserta didik dan masyarakat (menjaga “profesionalitas conscience”) dan mampu meningkatkan mutu pendidikan. Untuk mendapatkan guru yang demikian, dua hal yang perlu mendapatkan perhatian yaitu pendidikan mereka (terutama pada pre-service training atau pemantapan program pendidikan guru, bukan pada in training service) dan kesejahteraan mereka .
Peningkatan kesejahteraan guru memiliki peran penting dalam usaha memperbaiki pendidikan Indonesia yang sedang terpuruk. Bank Dunia memberikan mutu guru guna memacu mutu pendidikan tidak akan berpengaruh maksimal jika kesejahteraan tidak terpecahkan (Suroso. 2002). Selain itu, peningkatan kesejahteraaan bisa berdampak positif pada usaha pemberantasan korupsi di sekolah. Sebab, korupsi yang dipraktekkan guru umumnya didorong factor kebutuhan (corruption by need). Untuk menyiasati kecilnya gaji, mereka mengutip berbagai biaya ekstra dari murid, seperti menjual soal ujian atau mengadakan kegiatan ekstrakurikuler.
  • Korban korupsi

Berkaitan dengan korupsi, sangat menarik melihat posisi guru. Pada satu sisi, masyarakat menempatkan mereka sebagai actor utama di balik mahalnya biaya sekolah. Namun, di sisi lain, guru kerap dikerjai pejabat di atasnya, seperti gaji atau honor kegiatan dipotong tanpa alas an. Gambaran tersebut memberikan penjelasan bahwa sebenarnya guru merupakan pelaku sekaligus korban korupsi. Namun, dua posisi tersebut tidak berdiri sendiri karena yang menjadi penyebab guru melakukan korupsi adalah korupsi atau perlakuan tidak adil pejabat di atasnya. Setidaknya ada tiga kondisi yang bisa menjelaskan hal itu. Yang pertama adalah kenyataan bahwa pendapatan yang diterima guru tidak lebih besar disbanding pengeluaran untuk mendudkung proses belajar-mengajar. Sebagai contoh, sewaktu penulis mengajar di salah satu sekolah menengah pertama swasta di Jakarta, biaya yang dikeluarkan setiap kali datang dan membuat persiapan mengajar mencapai Rp 45 ribu, belum termasuk makan. Sedangkan bayaran mengajar Rp 10 ribu per jam. Karena mengajar dalam semingu hanya enam jam, total pendapatan yang diterima Rp 60 ribu setiap bulan. Jika dihitung datang ke sekolah seminggu sekali, total pengeluaran dalam satu bulan mencapai Rp 180 ribu (4 minggu dikali Rp 45 ribu), padahal gaji hanya Rp 60 ribu. Jadi setiap bulan deficit Rp 120 ribu. Alternatif menutup deficit dan kebutuhan hidup adalah mencari dana ekstra dari siswa atau ngobyek di tempat lain, bisa di sekolah, bisa juga di pangkalan ojek. Kedua, guru bukan penentu kebijakan di sekolah. Umumnya guru diposisikan sebagai pengajar yang bertugas mentransfer pengetahuan kepada murid, sedangkan dalam penentuan kebijakan akademis apalagi financial sering diabaikan. Hasil penelitian Indonesian Corruption Watch pada beberapa kota di Indonesia secara umum menunjukkan bahwa guru tidak mengetahui kebijakan apa saja yang digulirkan sekolah. Bahkan banyak yang mengaku belum pernah melihat bentuk anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) di sekolahnya. Padahal keuangan sekolah, baik bersumber pada pemerintah, orang tua murid, maupun pihak lain, dicantumkan dalam APBS. Karena itu, agar bisa melakukan korupsi, terlebih dahulu mesti mengetahui APBS. Dengan demikian, guru, yang umumnya tidak ikut merencanakan dan mengelola keuangan, kecil kemungkinan menjadi aktor di balik maraknya korupsi di sekolah. Ketiga, guru merupakan mata rantai terlemah di antara penyelenggara pendidikan lain sehingga selalu menjadi korban mata rantai yang lebih kuat, seperti kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan. Selain guru menjadi korban obyekan atasan, porsi anggaran atau pendapatan yang diperoleh pun biasanya kecil. Penelitian Indonesian Corruption Watch pada APBS beberapa sekolah di Jakarta dan Tangerang memperlihatkan bahwa alokasi anggaran untuk guru tidak mencapai setengah porsi untuk kepala sekolah. Secara ekonomi, penikmat hasil korupsi bukanlah guru. Nasibnya seperti istilah orang lain yang makan nangka, tapi guru yang terkena getahnya. Stigma biang keladi korupsi di sekolah membuat citra guru jatuh di hadapan orang tua dan murid. Padahal tuntutan profesinya bukan hanya kemahiran dalam menyampaikan materi pelajaran, tapi juga keterampilan untuk menjadi contoh. Guru korup adalah guru buruk dan guru buruk tidak bisa dijadikan contoh. Karena itu, guru sebenarnya memiliki kepentingan ikut memberantas korupsi, khususnya di sector pendidikan. Sebab, selain dapat mengembalikan citra, apa yang mereka lakukan akan menjadi pembelajaran sangat efektif, tidak hanya bagi murid, tapi juga bagi masyarakat umum. Usaha memberantas korupsi bisa diawali dengan perjuangan memperbaiki nasib guru sendiri. Peluang tersebut sangat terbuka dengan mendorong Undang-Undang Guru sesuai dengan tujuan awal: mengangkat harkat dan derajat guru. Walau undang-undang itu sudah disahkan, peluang perbaikan belum tertutup.
  • Mutu Pendidikan

Dalam rangka umum, mutu mengandung makna derajad (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa, baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam “proses pendidikan” yang bermutu, terlibat berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif dan psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta menciptakan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut. Antara lain mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar, baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas, baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun non akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks “hasil Pendidikan” mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir semester, akhir tahun, 2 tahun, atau 5 tahun bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil tes kemampuan akademis (misal : ulangan harian, ujian semester atau ujian nasional). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olahraga, seni atau keterampilan tambahan tertentu. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan dan lain-lain. Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (output) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap kurun waktu lainnya. Beberapa input dan proses harus selalu mengacu pada mutu hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain, tanggung jawab sekolah dlam school based quality improvent bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik(kognitif) dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar nilai). Mutu Pendidikan Indonesia Pembangunan Pendidikan Indonesia mendapat roh baru dalam pelaksanaanya sejak disahkannya Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selaras dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasinal maka Visi Pembangunan Pendidikan Nasional adalah “Terwujudnya Manusia Indonesia Yang Cerdas, Produktif, dan Berakhlak Mulia”. Beberapa indicator yang menjadi tolok ukur keberhasilan dalam pembangunan pendidikan nasional : a). Sistem pendidikan yang efektif, efisien. b). Pendidikan nasional yang merata dan bermutu. c). Peran serta masyarakat dalam pendidikan. Dan lain-lain. Keberhasilan tim olimpiade di kancah internasional dalam meraih medali, belum cukup untuk dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan di tanah air. Karena keberhasilan tersebut hanya dicapai oleh beberapa siswa saja dari jutaan siswa Indonesia yang sebagian besar dapat dikatakan kualitasnya masih kurang. Kenyataan ini terindikasi dari standar nilai kelulusan (dalam ujian nasional yang masih diperdebatkan keberadaannya) dari tiga mata pelajaran yang diujikan (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika) nilai kelulusan yang ditetapkan minimal 4,25. Sedangkan kita lihat negara-negara lain seperti Malaysia memakai standar nilai kelulusan 6 dan Singapura 8 dan posisi Indonesia hanya sebanding dengan Filipina (Koran Tempo, 17 Juli 2006).
  • Peran Guru Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan

Guru dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi ganda, sebagai pengajar dan pendidik, maka guru secara otomatis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai kemajuan pendidikan. Secara teoritis dalam peningkatan mutu pendidikan guru memilki peran antara lain : (a) sebagai salah satu komponen sentral dalam system pendidikan, (b) sebagai tenaga pengajar sekaligus pendidik dalam suatu instansi pendidikan (sekolah maupun kelas bimbingan), (c) penentu mutu hasil pendidikan dengn mencetak peseta didik yang benar-benar menjadi manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman danbertaqwa kepada Tuhan YME, percaya diri, disiplin, dan bertnggung jawab, (d) sebagai factor kunci, mengandung arti bahwa semua kebijakan, rencana inovasi, dan gagasan pendidikan yang ditetapkan untuk mewujudkan perubahan system pendidikan, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, (e) sebagai pendukung serta pembimbing peserta didik sebagai generasi yang akan meneruskan estafet pejuang bangsa untuk mengisi kemerdekaan dalam kancah pembangunan nasional serta dalam penyesuaian perkembangaanjaman dan teknologi yang semakin spektakuler, (f) sebagai pelayan kemanusiaan di lingkungan masyarakat, (g) sebagai pemonitor praktek profesi. Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah Benarkah guru sebagai penentu keberhasilan pendidikan Indonesia?. Mencermati dan memperhatikan Pendidikan di Indonesia, timbullah suatu permasalahan yang menjadi permasalahan nasional, terutama menyangkut masalah standar kelulusan siswa baik yang masuk SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi dan lain-lain. Kelulusan siswa tidak ditentukan oleh guru yang memantau dan mendidik serta membimbing dan membina anak didik selama 3 tahun dalam proses belajar dan mengajar, tetapi cukup ditentukan dengan hasil UN selama 2 jam yang sudah ditentukan standar nilai minimumnya. Suatu hal yang tidak logis untuk menilai seseorang mampu dan tidak mampu hanya dari satu aspek saja yaitu aspek kognitif, sedangkan intelektual yang bermoral merupakan proses yang diamati dan dinilai oleh orang yang membmbing, orang yang membina di sini peran guru dikebirikan. Beberapa kasus terjadi, ada seorang siswa yang sering menjuarai berbagai olimpiade sampai tingkat Nasional, berperilaku baik dan santun namun pada saat kelulusan ia dinyatakan tidak lulus. Di sisi lain ada seorang siswa yang kurang baik dalam berperilaku, sering bolos dan tidak sopan, namun ia mendaat nilai tertinggi saat kelulusan. Sungguh ketidak adilan dalam hal ini sangat menonjol. Di sinilah permasalahan pendidikan di Indonesia yang memunculkan suatu pertanyaan terhadap kelulusan siswa yang hanya ditentukan oleh 3 materi Ujian Nasional, sedangkan materi lain dan keaktifan serta intelektual siswa lainnya yang menyangkut aspek afekti dan psikomotorik siswa tidak dinilai. Jadi peran guru sebagai pengajar sekaligus pendidik disini kurang menentukan hasil pendidikan jika tolok ukurnya masih demikian. “Guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Pepatah ini dapat memberi kita pemahaman bahwa betapa besarnya peran guru dalam dunia pendidikan pada saat masyarakat mulai menggugat kualitas pendidikan yang dijalankan di Indonesia maka akan banyak hal terkait yang harus dibenahi. Masalah sarana dan prasarana pendidikan, sisitem pendidikan, kurikulum, kualitas tenaga pengajar (guru dan dosen), dll. Secara umum guru merupakan factor penentu tinggi rendahnya kualitas hasil pendidikan. Namun demikian posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan professional, factor kesejahteraan, dll.
Kesimpulan
Dalam peningkatan Mutu Pendidikan, guru memiliki peran antara lain : (a) sebagai salah satu komponen sentral dalam system pendidikan, (b) sebagai tenaga pengajar sekaligus pendidik dalam suatu instansi pendidikan (sekolah maupun kelas bimbingan), (c) penentu mutu hasil pendidikan dengn mencetak peseta didik yang benar-benar menjadi manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman danbertaqwa kepada Tuhan YME, percaya diri, disiplin, dan bertnggung jawab, (d) sebagai factor kunci, mengandung arti bahwa semua kebijakan, rencana inovasi, dan gagasan pendidikan yang ditetapkan untuk mewujudkan perubahan system pendidikan, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, (e) sebagai pendukung serta pembimbing peserta didik sebagai generasi yang akan meneruskan estafet pejuang bangsa untuk mengisi kemerdekaan dalam kancah pembangunan nasional serta dalam penyesuaian perkembangaanjaman dan teknologi yang semakin spektakuler, (f) sebagai pelayan kemanusiaan di lingkungan masyarakat, (g) sebagai pemonitor praktek profesi.

DAFTAR PUSTAKA
Sumitro, dkk. 2006 . Pengantar Ilmu Pendidikan . Yogyakarta : FMIPA UNY
Rozali Ritonga . 2006 . Menyongsong Kurikulum Pendidikan 2009/2010 . Jakarta : Tempo Interaktif
Naniek Setijadi . 2004 . Tantangan Profesionalisme Guru Masa Depan . Jakarta : Tempo Interaktif http://www.kompascom/ – selasa, 17 Oktober 2006.

http://www.klik-m.com/artikel/56-peranan-guru-terhadap